Dr. H.C. Ary Ginanjar Agustian
Beberapa waktu lalu saya liburan ke Jogjakarta bersama istri dan
anak-anak. Malam minggunya saya ajak mereka untuk merasakan hiburan
malam bersama rakyat Jogja. Saya menyewa "becak lampu" yang
kerlap-kerlip itu dan mengayuh tandem bersama istri serta anak
mengelilingi Alun-alun Selatan Keraton Jogja sebanyak dua kali.
Selama tiga malam di Jogja sengaja saya tidak lesehan di Jalan
Malioboro, melainkan di tengah lapangan Alun-alun Selatan. Saya tidak
ingin ‘merasa’ menjadi turis
Jakarta tapi ingin menjadi orang Jogja asli yang bermalam mingguan di alun-alun sambil mengamati kebahagiaan mereka.
Setelah lelah mengayuh becak, saya kemudian mencari minuman khas
alun-alun wedang ronde dan mie jawa serta duduk beralas tikar di tengah
lapangan alun-alun yang luas. Pengamen-pangamen mulai berdatangan
menghibur, mulai dari lagu Jawa, lagu pop anak muda, hingga lagu
kebangsaan dan lagu perjuangan dinyanyikan di sana. Setelah puas makan
dan minum dan hendak membayar, saya celingukan ternyata tidak ada satu
orang pun pelayan yang menjaga.
Wah! Kalau saya berdagang dengan model seperti ini di kota, mungkin akan banyak yang akan MLN
alias
Makan Langsung Ngeloyor. Kami sendirilah yang harus mendatangi satu per
satu kasir pemilik rombong itu untuk membayar apa yang kami makan.
Mulai rombong pisang bakar, rombong wedang ronde, dan rombong mie jawa,
yang harganya
super murah.
Saya melihat bahwa mereka semua bahagia seperti di Negeri Smurf. Para
pedagang melayani pembeli dengan sukacita tanpa diiringi kecemasan
bahwa modal mereka tak
kan
kembali. Pengamen menyanyi dengan sepenuh hati, seolah tak peduli
berapa receh yang akan mereka terima. Juga masyarakat setempat
berpenampilan sederhana yang berdatangan dengan wajah sumringah.
Hal ini menjadi salah satu bukti bahwa uang sesungguhnya bukan sumber
utama kebahagiaan. Namun, masih banyak orang mencari kebahagian di
departement store
atau di pusat perbelanjaan mewah di kota-kota besar di Indonesia, yang
membuat bangsa ini terjebak menjadi masyarakat konsumtif dan kurang
produktif dengan uangnya. Asumsi umum selama ini, bahwa kebahagiaan itu
tidak mungkin didapat ketika kita hidup di bawah standar ekonomi, dan
kebahagiaan seolah ditentukan oleh angka pertumbuhan ekonomi dan bukan
keadaan kejiwaaan masyarakat.
Survei internasional yang dilakukan oleh
Earth Institute
of Columbia University tentang negara mana yang paling berbahagia,
ternyata menempatkan Bhutan justru di atas Amerika Serikat dan bahkan di
atas negara-negara makmur lainnya. Artinya kebahagiaan sebuah negara
bukan hanya diukur dengan Gross Domestic Product atau GDP semata, akan
tetapi juga Gross National Happiness Index.
Ini juga tentu berlaku di sisi mikro, seperti dunia korporasi baik
swasta ataupun pemerintah. Di dunia korporasi, hal ini dinamakan inti
budaya organisasi, yaitu MVVM atau Misi-Visi-Value-Meaning. MVVM tentu
saja harus sudah terinternalisasi ke dalam jiwa dan hati yang terdalam,
dan harus sudah tereksternalisasi menjadi perilaku sehari-hari. Dengan
demikian hidup menjadi penuh arti dan bukan sekedar materi, seperti
halnya dicontohkan para abdi dalem keraton yang bergaji hanya Rp 30.000
perbulan.
Di alun-alun Selatan Keraton Jogja saya bermimpi membayangkan kalau semua pegawai negeri yang jumlahnya lima
juta
itu, semua pegawai BUMN yang pinter-pinter itu, semua penegak hukum
yang berkuasa, dan semua guru-guru yang mencetak manusia Indonesia itu,
merasa sebagai Abdi Dalem NKRI, maka saya yakin dan percaya bangsa ini
akan bangkit kembali secara cepat luar biasa.
Dengan mempergunakan dua modal, yaitu emosional dan spiritual, maka
sesungguhnya sudah tidak bisa lagi menjadi alasan untuk para pegawai
negeri dan para penegak hukum mengatakan, "Gaji saya kecil!"
Pertumbuhan ekonomi dan standar hidup tentu saja penting untuk
dibangun akan tetapi terbukti GDP bukan segalanya yang membuat sebuah
bangsa ini bahagia. Kebebasan politik, kekuatan jaringan sosial, dan
nilai kejujuran adalah tiga hal yang saya lihat di alun-alun jogja.
Modal sosial rakyat Jogja.
Di pojok alun-alun saya melihat spanduk-spanduk ungkapan kebahagiaan
masyarakatnya yang berhasil menentukan sendiri "political freedom"
mereka yang menginginkan rajanya yang menjadi gubernur mereka sendiri.
Mereka tidak suka hiruk-pikuk pilkada yang bisa memecah belah
ketentraman kekeluargaan mereka. Mereka membotaki rambut mereka sendiri
sebagai ungkapan syukur, dan itu bukan botak basa-basi yang dibayar
dengan kekuatan uang seperti Pemilu pada umumnya. Inilah bentuk sebuah
emotional commitment yang mereka jaga selama ratusan tahun dan turun
temurun.
Saya belajar dari para pengamen, penjual wedang ronde dan mie jawa di alun-alun Selatan Jogja.
http://esq-news.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar