Selasa, 22 April 2014

‘Ruh’ di Alun-alun Selatan Jogja

 
Dr. H.C. Ary Ginanjar Agustian
 
Beberapa waktu lalu saya liburan ke Jogjakarta bersama istri dan anak-anak. Malam minggunya saya ajak mereka untuk merasakan hiburan malam bersama rakyat Jogja. Saya menyewa "becak lampu" yang kerlap-kerlip itu dan mengayuh tandem bersama istri serta anak mengelilingi Alun-alun Selatan Keraton Jogja sebanyak dua kali.


Selama tiga malam di Jogja sengaja saya tidak lesehan di Jalan Malioboro, melainkan di tengah lapangan Alun-alun Selatan. Saya tidak ingin ‘merasa’ menjadi turis Jakarta tapi ingin menjadi orang Jogja asli yang bermalam mingguan di alun-alun sambil mengamati kebahagiaan mereka.

Setelah lelah mengayuh becak, saya kemudian mencari minuman khas alun-alun wedang ronde dan mie jawa serta duduk beralas tikar di tengah lapangan alun-alun yang luas. Pengamen-pangamen mulai berdatangan menghibur, mulai dari lagu Jawa, lagu pop anak muda, hingga lagu kebangsaan dan lagu perjuangan dinyanyikan di sana. Setelah puas makan dan minum dan hendak membayar, saya celingukan ternyata tidak ada satu orang pun pelayan yang menjaga.

Wah! Kalau saya berdagang dengan model seperti ini di kota, mungkin akan banyak yang akan MLN alias Makan Langsung Ngeloyor. Kami sendirilah yang harus mendatangi satu per satu kasir pemilik rombong itu untuk membayar apa yang kami makan. Mulai rombong pisang bakar, rombong wedang ronde, dan rombong mie jawa, yang harganya super murah.
Saya melihat bahwa mereka semua bahagia seperti di Negeri Smurf. Para pedagang melayani pembeli dengan sukacita tanpa diiringi kecemasan bahwa modal mereka tak kan kembali. Pengamen menyanyi dengan sepenuh hati, seolah tak peduli berapa receh yang akan mereka terima. Juga masyarakat setempat berpenampilan sederhana yang berdatangan dengan wajah sumringah.

Hal ini menjadi salah satu bukti bahwa uang sesungguhnya bukan sumber utama kebahagiaan. Namun, masih banyak orang mencari kebahagian di departement store atau di pusat perbelanjaan mewah di kota-kota besar di Indonesia, yang membuat bangsa ini terjebak menjadi masyarakat konsumtif dan kurang produktif dengan uangnya. Asumsi umum selama ini, bahwa kebahagiaan itu tidak mungkin didapat ketika kita hidup di bawah standar ekonomi, dan kebahagiaan seolah ditentukan oleh angka pertumbuhan ekonomi dan bukan keadaan kejiwaaan masyarakat.

Survei internasional yang dilakukan oleh Earth Institute of Columbia University tentang negara mana yang paling berbahagia, ternyata menempatkan Bhutan justru di atas Amerika Serikat dan bahkan di atas negara-negara makmur lainnya. Artinya kebahagiaan sebuah negara bukan hanya diukur dengan Gross Domestic Product atau GDP semata, akan tetapi juga Gross National Happiness Index.

Ini juga tentu berlaku di sisi mikro, seperti dunia korporasi baik swasta ataupun pemerintah. Di dunia korporasi, hal ini dinamakan inti budaya organisasi, yaitu MVVM atau Misi-Visi-Value-Meaning. MVVM tentu saja harus sudah terinternalisasi ke dalam jiwa dan hati yang terdalam, dan harus sudah tereksternalisasi menjadi perilaku sehari-hari. Dengan demikian hidup menjadi penuh arti dan bukan sekedar materi, seperti halnya dicontohkan para abdi dalem keraton yang bergaji hanya Rp 30.000 perbulan.

Di alun-alun Selatan Keraton Jogja saya bermimpi membayangkan kalau semua pegawai negeri yang jumlahnya lima juta itu, semua pegawai BUMN yang pinter-pinter itu, semua penegak hukum yang berkuasa, dan semua guru-guru yang mencetak manusia Indonesia itu, merasa sebagai Abdi Dalem NKRI, maka saya yakin dan percaya bangsa ini akan bangkit kembali secara cepat luar biasa.
Dengan mempergunakan dua modal, yaitu emosional dan spiritual, maka sesungguhnya sudah tidak bisa lagi menjadi alasan untuk para pegawai negeri dan para penegak hukum mengatakan, "Gaji saya kecil!"

Pertumbuhan ekonomi dan standar hidup tentu saja penting untuk dibangun akan tetapi terbukti GDP bukan segalanya yang membuat sebuah bangsa ini bahagia. Kebebasan politik, kekuatan jaringan sosial, dan nilai kejujuran adalah tiga hal yang saya lihat di alun-alun jogja. Modal sosial rakyat Jogja.

Di pojok alun-alun saya melihat spanduk-spanduk ungkapan kebahagiaan masyarakatnya yang berhasil menentukan sendiri "political freedom" mereka yang menginginkan rajanya yang menjadi gubernur mereka sendiri. Mereka tidak suka hiruk-pikuk pilkada yang bisa memecah belah ketentraman kekeluargaan mereka. Mereka membotaki rambut mereka sendiri sebagai ungkapan syukur, dan itu bukan botak basa-basi yang dibayar dengan kekuatan uang seperti Pemilu pada umumnya. Inilah bentuk sebuah emotional commitment yang mereka jaga selama ratusan tahun dan turun temurun.

Saya belajar dari para pengamen, penjual wedang ronde dan mie jawa di alun-alun Selatan Jogja.
 http://esq-news.com
 
Info :081378444341
frans.esqlcriau@gmail.com

Tidak ada komentar: