ACT Consulting - HES Mindset Training
Budaya keselamatan (safety culture) merupakan kunci untuk
mendukung tercapainya peningkatan keselamatan dan kesehatan kerja (K3)
dalam organisasi. Apa itu budaya keselamatan ? Budaya keselamatan adalah
sifat dan sikap dalam organisasi, individu yang menekankan pentingnya
keselamatan. Oleh karena itu, budaya keselamatan mempersyaratkan agar
semua kewajiban yang berkaitan dengan keselamatan harus dilaksanakan
secara benar, seksama, dan penuh rasa tanggung jawab. Namun budaya di
setiap organisasi itu berbeda-beda dan bervariasi karakteristiknya
seperti sebuah keluarga yang memiliki perbedaan dari keluarga lainnya.
Pertanyaannya apakah sudah banyak organisasi dan individu yang
melibatkan keselamatan dalam budayanya?
Walaupun HES/K3 telah “dianggap penting” dalam aspek kegiatan operasi namun didalam pelaksanaannya masih saja ditemui hambatan serta kendala-kendala. Salah satu hambatan tersebut tidak lain adalah hambatan sosial budaya. Artinya budaya keselamatan di negara kita masih patut dipertanyakan.
Lalu bagaimana cara untuk meningkatkan dan “menyuburkan” budaya keselamatan tersebut?
Jawabannya adalah komitmen dan kepemimpinan (leadership). Komitmen untuk keselamatan akan muncul jika setiap organisasi atau individu dengan jelas memahami manfaat positif yang diperoleh dari keselamatan tersebut. Memahami manfaat akan menciptakan keinginan yang kuat untuk meningkatkan budaya keselamatan dan selanjutnya organisasi atau individu akan menginvestasikan waktu dan uang secara serius ke manajemen dan program keselamatan yang efektif (inilah komitmen) yang menjdaikan ini sebagai kebutuhan atau lebih dalam lagi menjadi Behaviour dalam setiap insan.
Kepemimpinan / leadership juga erat hubungannya dengan budaya. Kepemimpinan merupakan hal yang sangat penting dalam setiap program di organisasi atau kesatuan masyarakat termasuk program-program keselamatan. Setiap hari, pemimpin seperti mandor, supervisor, manajer, bupati, gubernur, pemimpin keluarga dll memiliki banyak kesempatan untuk berkomunikasi dan bertindak dengan cara yang menunjukkan kepemimpinannya dalam hal keselamatan (safety leadership). Sayangnya, peluang tersebut sering tidak terjawab karena mereka tidak memandang ini sebagai peluang. Mereka sering tidak mengerti bahwa ekspresi sederhana dalam kepemimpinan untuk safety dapat menghasilkan manfaat besar. Ketidakmampuan untuk melihat peluang kepemimpinan ini sama saja dengan membatasi potensi perusahaan atau organisasi untuk berhasil.
Setiap individu pada semua tingkat organisasi atau kesatuan masyarakat adalah orang-orang yang mencoba untuk melakukan terbaik yang mereka bisa dengan apa yang mereka punya. Masalahnya adalah, mereka tidak selalu memiliki sumber daya fisik dan dukungan psikososial untuk mencapai hasil yang diharapkan. Mungkin karena pemimpin tidak menyediakan sumber daya tersebut. Mengapa? Pada akhirnya, budaya lah yang tidak mendukung kepemimpinan dan manajemen termasuk dalam kepemimpinan dan manajemen keselamatan yang efektif. Namun bagaimanapun pemimpin lah yang seharusnya bisa menciptakan atau mengarahkan budaya pada orang-orang yang dipimpinnya tersebut termasuk dalam budaya keselamatan. Ya, budaya dan kepemimpinan adalah suatu hal yang tidak dapat dipisahkan. Karena itu efektifitas dari program keselamatan sangat tergantung dari budaya dan kepemimpinan.
“Safety Leadership” dalam membangun Budaya HES / K 3
Pengalaman para pakar yang sudah banyak menjalankan best practices penerapan budaya keselamatan kerja, dengan tegas mengatakan bahwa “Pengembangan budaya keselamatan dimulai dari manajemen puncak dan tim manajemen dalam organisasi”.
Safety leadership sangat berperan sebagai kunci keberhasilan dalam membangun budaya keselamatan yang kuat pada industry beresiko tinggi. Berdasarkan hasil kajian, atribut-atribut safety leadership adalah: Pimpinan sebagai Role Model yang sangat mengandalkan faktor keteladanan, etika kerja yang kuat, tanggung jawab, kepribadian, keterbukaan, kepercayaan, konsistensi, memotivasi dan komunikasi yang efektif untuk mewujudkan keselamatan. Pemimpin pembelajar untuk meningkatkan keselamatan secara berkelanjutan, berdasarkan Shell Global Solution, gaya kepemimpinan keselamatan disusun dalam 4 kategori, yaitu Telling, Teaching, Participating, Delegating. Pemimpin yang berbagi pengetahuan, melaksanakan transfer knowledge melalui coaching, mentoring, dan conseling untuk berbagi pengetahuan keselamatan kepada generasi penerus kepemimpinan keselamatan. Kemajuan dan penerapan safety leadership di setiap industri sangat tergantung dari komitmen pihak top management dalam menumbuhkembangkan budaya keselamatan di organisasinya masing-masing.
Budaya keselamatan dalam budaya dan nilai lokal
Beberapa budaya lokal di negara kita sebenarnya sudah memiliki nilai-nilai keselamatan seperti budaya Jawa yang memiliki pepatah “gremet-gremet waton selamet” yang artinya merayap asalkan selamat dan ”alon-alon waton kelakon” yang artinya pelan-pelan asal selamat (terlaksana). Ini bukan berarti mengajarkan untuk selalu lambat, tapi maksudnya adalah utamakan keselamatan (safety first), setelah keselamatan terjamin barulah kualitas dapat dicapai. Jadi maksud pepatah Jawa tersebut adalah mengerjakan sesuatu dengan dasar yang jelas, dengan cara yang selamat, efektif dan efisien dan tujuan tercapai dengan baik. Prinsip bekerja alon-alon waton kelakon tidak mengisyaratkan untuk kita bersantai-santai atau berleha-leha tetapi lebih mengisyaratkan agar kita tidak terburu-buru dan selalu waspada, silahkan saja orang lain menyalip jika memang mau duluan, yang penting kita menikmati dulu proses optimasi yang kita lakukan, dan kita tidak terlalu bernafsu mengejar yang sudah mendahului, karena perlahan tetapi mantap itu juga sama pentingnya dibandingkan langsung tancap gas tanpa pernah ngerem.
Di budaya Jawa juga ada beberapa pepatah lain yang memiliki makna keselamatan seperti; “aja nggege mangsa” yang artinya jangan mempercepat musim atau waktu, makna sejatinya adalah jangan memaksakan diri dalam memperoleh hasil sebelum waktunya, karena apa yang didapat pasti tidak memuaskan, janganlah mengejar atau mempercepat produksi tapi mengabaikan keselamatan, nyawa Anda lebih berharga dari waktu yang Anda kejar; “cagak amben cemethi tali” yang bermakna dalam mengerjakan pekerjaan-pekerjaan sulit, berbahaya, dan berat diperlukan orang yang benar-benar mumpuni, disini tersirat bahwa bahaya dalam pekerjaan harus diantisipasi dan diperlukan training bagi pekerjanya agar bena-benar mumpuni; “jer basuki mawa beya” yang maknanya untuk mendapatkan keselamatan, kesejahteraan, dan kebahagiaan hidup senantiasa memperlukan biaya, kerja keras, dan pengorbanan, begitu pula dengan K3, untuk mencapainya perlu investasi tapi percayalah bahwa investasi itu akan menguntungkan.
Di budaya Melayu terdapat pepatah “kalau pandai meniti buih, selamat badan sampai ke seberang” yang artinya orang yang pandai membawa diri, tentulah selamat hidupnya. Walaupun bermakna umum tapi mengandung arti keselamatan juga. Untuk mencapai suatu tujuan, misal target produksi dengan selamat maka harus bisa melewati pekerjaan di proses produksi dengan memperhatikan aspek keselamatan. Ada juga pepetah Melayu “mencegah lebih baik daripada mengubati” atau “menolak kerosakan lebih utama daripada menarik kemaslahatan.” Hal ini sesuai dengan program K3 sebaiknya lebih ke preventif dan promotif daripada kuratif. Ada juga peribahasa Melayu “baik jadi ayam betina sepaya selamat”, maknanya jangan menonjolkan sok berani sebab hanya mendatangkan kesusahan belaka dengan kata lain hindarilah perilaku yang berisiko dan menantang bahaya. Selain itu ada pepatah Melayu “jangan tergopoh gapah dalam melaksanakan sesuatu perkara” yang artinya mirip dengan “alon-alon waton kelakon.”
Di budaya Tionghoa terdapat filosofi “carilah pekerjaan yang kamu tidak bekerja” atau “carilah pekerjaan yang betul-betul kamu senangi, maka seumur hidup kamu tidak perlu lagi menyebutnya bekerja” (Confucius). Walaupun tidak secara explisit menyinggung keselamatan kerja fisik namun secara implisit filosofi ini mempunyai pesan yang senada dengan ergonomi yang merupakan prinsip dari K3 yakni “fitting the job to the man” yakni sesuaikan pekerjaan dengan individu karena setiap individu memiliki karakteristik yang berbeda-beda baik itu karakteristik non fisik maupun fisik (antropometri), sehingga pekerjaan dapat dilakukan secara selamat dan sehat tidak hanya fisik namun juga mental serta produktif sehingga kualitasnya tinggi.
Tips menumbuhkan budaya K3
Apakah cukup dengan peraturan keselamatan kerja, kebijakan keselamatan kerja, hingga sistem ? Yang ada disetiap perusahaan adalah upaya yang dilakukan untuk keselamatan kerja selama karyawan bekerja di perusahan hingga menjadi bagian dari budaya hidupnya. Tetapi terkadang ada sebagian tenaga kerja yang merasa aturan, kebijakan, atau sistem tersebut membuat kerja menjadi tidak nyaman, serba dibatasi, bahkan tidak efisien sehingga mereka menjadi tidak peduli dengan keselamatan kerja. Bagaimana agar orang orang tersebut dapat tumbuh motivasi dirinya untuk selalu hidup dengan Budaya Keselamatan Kerja ?
Berdasarkan 13 riset mengenai motivasi, 10 cara untuk menumbuhkan motivasi diri seseorang, yaitu :
1. Komunikasikan kebijakan atau aturan keselamatan kerja dengan cara yang rasional dan mudah dipahami, sehingga tidak terkesan memaksa dan mejadi ini sebuah kebutuhan..
2. Tunjukkan empati berdasarkan prinsip. Seseorang tidak mau melakukan apa yang diperintahkan orang lain (seseorang tidak bisa dipaksa untuk melakukan sesuatu), dengan cara menjelaskan setiap kebijakan dan aturan dengan rasional sehingga setiap orang mau menerima dan melaksanakannya.
3. Gunakan bahasa yang bersifat personal. Contohnya kata-kata : “keselamatan kerja adalah kebutuhan kita sehingga wajib untuk kita bersama” lebih baik dari pada kalimat “keselamatan kerja adalah budaya perusahaan yang harus dilaksanakan”.
4. Libatkan setiap orang dalam proses perencanaan, pelaksanaan,dan evaluasi kerja mereka.
5. Kumpulkan saran dan pendapat dari mereka yang terkena kewajiban dari aturan dan kebijakan tersebut.
6. Tentukan tujuan atau target yang ingin dicapai bersama sama dengan semua orang atau tim kerja. Untuk menentukan tujuan/target dapat menggunakan rumus SMART: Specific, Motivational, Achievable, Relevant and Trackable.
7. Buat program penghargaan bagi siapapun yang memiliki prestasi dalam menjalankan budaya keselamatan kerja di perusahaan.
8. Dengarkan alasan dan tetap bersifat empati apabila ada pelanggaran aturan/ kebijakan keselamatan kerja serta komunikasikan dengan baik untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi.
9. Adakan diskusi atau acara kelompok /tim kerja dalam menentukan target atau tujuan, dengar pendapat, perayaan keberhasilan, dll.
10. Kembangkan dan menerapkan strategi untuk meningkatkan kepercayaan antar sesama orang.
Walaupun HES/K3 telah “dianggap penting” dalam aspek kegiatan operasi namun didalam pelaksanaannya masih saja ditemui hambatan serta kendala-kendala. Salah satu hambatan tersebut tidak lain adalah hambatan sosial budaya. Artinya budaya keselamatan di negara kita masih patut dipertanyakan.
Lalu bagaimana cara untuk meningkatkan dan “menyuburkan” budaya keselamatan tersebut?
Jawabannya adalah komitmen dan kepemimpinan (leadership). Komitmen untuk keselamatan akan muncul jika setiap organisasi atau individu dengan jelas memahami manfaat positif yang diperoleh dari keselamatan tersebut. Memahami manfaat akan menciptakan keinginan yang kuat untuk meningkatkan budaya keselamatan dan selanjutnya organisasi atau individu akan menginvestasikan waktu dan uang secara serius ke manajemen dan program keselamatan yang efektif (inilah komitmen) yang menjdaikan ini sebagai kebutuhan atau lebih dalam lagi menjadi Behaviour dalam setiap insan.
Kepemimpinan / leadership juga erat hubungannya dengan budaya. Kepemimpinan merupakan hal yang sangat penting dalam setiap program di organisasi atau kesatuan masyarakat termasuk program-program keselamatan. Setiap hari, pemimpin seperti mandor, supervisor, manajer, bupati, gubernur, pemimpin keluarga dll memiliki banyak kesempatan untuk berkomunikasi dan bertindak dengan cara yang menunjukkan kepemimpinannya dalam hal keselamatan (safety leadership). Sayangnya, peluang tersebut sering tidak terjawab karena mereka tidak memandang ini sebagai peluang. Mereka sering tidak mengerti bahwa ekspresi sederhana dalam kepemimpinan untuk safety dapat menghasilkan manfaat besar. Ketidakmampuan untuk melihat peluang kepemimpinan ini sama saja dengan membatasi potensi perusahaan atau organisasi untuk berhasil.
Setiap individu pada semua tingkat organisasi atau kesatuan masyarakat adalah orang-orang yang mencoba untuk melakukan terbaik yang mereka bisa dengan apa yang mereka punya. Masalahnya adalah, mereka tidak selalu memiliki sumber daya fisik dan dukungan psikososial untuk mencapai hasil yang diharapkan. Mungkin karena pemimpin tidak menyediakan sumber daya tersebut. Mengapa? Pada akhirnya, budaya lah yang tidak mendukung kepemimpinan dan manajemen termasuk dalam kepemimpinan dan manajemen keselamatan yang efektif. Namun bagaimanapun pemimpin lah yang seharusnya bisa menciptakan atau mengarahkan budaya pada orang-orang yang dipimpinnya tersebut termasuk dalam budaya keselamatan. Ya, budaya dan kepemimpinan adalah suatu hal yang tidak dapat dipisahkan. Karena itu efektifitas dari program keselamatan sangat tergantung dari budaya dan kepemimpinan.
“Safety Leadership” dalam membangun Budaya HES / K 3
Pengalaman para pakar yang sudah banyak menjalankan best practices penerapan budaya keselamatan kerja, dengan tegas mengatakan bahwa “Pengembangan budaya keselamatan dimulai dari manajemen puncak dan tim manajemen dalam organisasi”.
Safety leadership sangat berperan sebagai kunci keberhasilan dalam membangun budaya keselamatan yang kuat pada industry beresiko tinggi. Berdasarkan hasil kajian, atribut-atribut safety leadership adalah: Pimpinan sebagai Role Model yang sangat mengandalkan faktor keteladanan, etika kerja yang kuat, tanggung jawab, kepribadian, keterbukaan, kepercayaan, konsistensi, memotivasi dan komunikasi yang efektif untuk mewujudkan keselamatan. Pemimpin pembelajar untuk meningkatkan keselamatan secara berkelanjutan, berdasarkan Shell Global Solution, gaya kepemimpinan keselamatan disusun dalam 4 kategori, yaitu Telling, Teaching, Participating, Delegating. Pemimpin yang berbagi pengetahuan, melaksanakan transfer knowledge melalui coaching, mentoring, dan conseling untuk berbagi pengetahuan keselamatan kepada generasi penerus kepemimpinan keselamatan. Kemajuan dan penerapan safety leadership di setiap industri sangat tergantung dari komitmen pihak top management dalam menumbuhkembangkan budaya keselamatan di organisasinya masing-masing.
Budaya keselamatan dalam budaya dan nilai lokal
Beberapa budaya lokal di negara kita sebenarnya sudah memiliki nilai-nilai keselamatan seperti budaya Jawa yang memiliki pepatah “gremet-gremet waton selamet” yang artinya merayap asalkan selamat dan ”alon-alon waton kelakon” yang artinya pelan-pelan asal selamat (terlaksana). Ini bukan berarti mengajarkan untuk selalu lambat, tapi maksudnya adalah utamakan keselamatan (safety first), setelah keselamatan terjamin barulah kualitas dapat dicapai. Jadi maksud pepatah Jawa tersebut adalah mengerjakan sesuatu dengan dasar yang jelas, dengan cara yang selamat, efektif dan efisien dan tujuan tercapai dengan baik. Prinsip bekerja alon-alon waton kelakon tidak mengisyaratkan untuk kita bersantai-santai atau berleha-leha tetapi lebih mengisyaratkan agar kita tidak terburu-buru dan selalu waspada, silahkan saja orang lain menyalip jika memang mau duluan, yang penting kita menikmati dulu proses optimasi yang kita lakukan, dan kita tidak terlalu bernafsu mengejar yang sudah mendahului, karena perlahan tetapi mantap itu juga sama pentingnya dibandingkan langsung tancap gas tanpa pernah ngerem.
Di budaya Jawa juga ada beberapa pepatah lain yang memiliki makna keselamatan seperti; “aja nggege mangsa” yang artinya jangan mempercepat musim atau waktu, makna sejatinya adalah jangan memaksakan diri dalam memperoleh hasil sebelum waktunya, karena apa yang didapat pasti tidak memuaskan, janganlah mengejar atau mempercepat produksi tapi mengabaikan keselamatan, nyawa Anda lebih berharga dari waktu yang Anda kejar; “cagak amben cemethi tali” yang bermakna dalam mengerjakan pekerjaan-pekerjaan sulit, berbahaya, dan berat diperlukan orang yang benar-benar mumpuni, disini tersirat bahwa bahaya dalam pekerjaan harus diantisipasi dan diperlukan training bagi pekerjanya agar bena-benar mumpuni; “jer basuki mawa beya” yang maknanya untuk mendapatkan keselamatan, kesejahteraan, dan kebahagiaan hidup senantiasa memperlukan biaya, kerja keras, dan pengorbanan, begitu pula dengan K3, untuk mencapainya perlu investasi tapi percayalah bahwa investasi itu akan menguntungkan.
Di budaya Melayu terdapat pepatah “kalau pandai meniti buih, selamat badan sampai ke seberang” yang artinya orang yang pandai membawa diri, tentulah selamat hidupnya. Walaupun bermakna umum tapi mengandung arti keselamatan juga. Untuk mencapai suatu tujuan, misal target produksi dengan selamat maka harus bisa melewati pekerjaan di proses produksi dengan memperhatikan aspek keselamatan. Ada juga pepetah Melayu “mencegah lebih baik daripada mengubati” atau “menolak kerosakan lebih utama daripada menarik kemaslahatan.” Hal ini sesuai dengan program K3 sebaiknya lebih ke preventif dan promotif daripada kuratif. Ada juga peribahasa Melayu “baik jadi ayam betina sepaya selamat”, maknanya jangan menonjolkan sok berani sebab hanya mendatangkan kesusahan belaka dengan kata lain hindarilah perilaku yang berisiko dan menantang bahaya. Selain itu ada pepatah Melayu “jangan tergopoh gapah dalam melaksanakan sesuatu perkara” yang artinya mirip dengan “alon-alon waton kelakon.”
Di budaya Tionghoa terdapat filosofi “carilah pekerjaan yang kamu tidak bekerja” atau “carilah pekerjaan yang betul-betul kamu senangi, maka seumur hidup kamu tidak perlu lagi menyebutnya bekerja” (Confucius). Walaupun tidak secara explisit menyinggung keselamatan kerja fisik namun secara implisit filosofi ini mempunyai pesan yang senada dengan ergonomi yang merupakan prinsip dari K3 yakni “fitting the job to the man” yakni sesuaikan pekerjaan dengan individu karena setiap individu memiliki karakteristik yang berbeda-beda baik itu karakteristik non fisik maupun fisik (antropometri), sehingga pekerjaan dapat dilakukan secara selamat dan sehat tidak hanya fisik namun juga mental serta produktif sehingga kualitasnya tinggi.
Tips menumbuhkan budaya K3
Apakah cukup dengan peraturan keselamatan kerja, kebijakan keselamatan kerja, hingga sistem ? Yang ada disetiap perusahaan adalah upaya yang dilakukan untuk keselamatan kerja selama karyawan bekerja di perusahan hingga menjadi bagian dari budaya hidupnya. Tetapi terkadang ada sebagian tenaga kerja yang merasa aturan, kebijakan, atau sistem tersebut membuat kerja menjadi tidak nyaman, serba dibatasi, bahkan tidak efisien sehingga mereka menjadi tidak peduli dengan keselamatan kerja. Bagaimana agar orang orang tersebut dapat tumbuh motivasi dirinya untuk selalu hidup dengan Budaya Keselamatan Kerja ?
Berdasarkan 13 riset mengenai motivasi, 10 cara untuk menumbuhkan motivasi diri seseorang, yaitu :
1. Komunikasikan kebijakan atau aturan keselamatan kerja dengan cara yang rasional dan mudah dipahami, sehingga tidak terkesan memaksa dan mejadi ini sebuah kebutuhan..
2. Tunjukkan empati berdasarkan prinsip. Seseorang tidak mau melakukan apa yang diperintahkan orang lain (seseorang tidak bisa dipaksa untuk melakukan sesuatu), dengan cara menjelaskan setiap kebijakan dan aturan dengan rasional sehingga setiap orang mau menerima dan melaksanakannya.
3. Gunakan bahasa yang bersifat personal. Contohnya kata-kata : “keselamatan kerja adalah kebutuhan kita sehingga wajib untuk kita bersama” lebih baik dari pada kalimat “keselamatan kerja adalah budaya perusahaan yang harus dilaksanakan”.
4. Libatkan setiap orang dalam proses perencanaan, pelaksanaan,dan evaluasi kerja mereka.
5. Kumpulkan saran dan pendapat dari mereka yang terkena kewajiban dari aturan dan kebijakan tersebut.
6. Tentukan tujuan atau target yang ingin dicapai bersama sama dengan semua orang atau tim kerja. Untuk menentukan tujuan/target dapat menggunakan rumus SMART: Specific, Motivational, Achievable, Relevant and Trackable.
7. Buat program penghargaan bagi siapapun yang memiliki prestasi dalam menjalankan budaya keselamatan kerja di perusahaan.
8. Dengarkan alasan dan tetap bersifat empati apabila ada pelanggaran aturan/ kebijakan keselamatan kerja serta komunikasikan dengan baik untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi.
9. Adakan diskusi atau acara kelompok /tim kerja dalam menentukan target atau tujuan, dengar pendapat, perayaan keberhasilan, dll.
10. Kembangkan dan menerapkan strategi untuk meningkatkan kepercayaan antar sesama orang.
11. dan dari semua di atas yang lebih penting lagi adalah menanamkan nilai meaning spritual terhadap setiap pekerjaan, bahwa bekerja itu adalah sebagai ibadah, dan menjadikan kebiasaan dan kebutuhan budaya Safety adalah bagia diri kita.
Mari kita bersama-sama membangun motivasi terhadap orang disekitar kita menuju budaya keselamatan kerja. Mulailah pembudayaan HES/K3 dari diri kita sendiri.
by EHS Magazine
Think Safety - ACT Safely !
Mau lebih dalam tentang Why Safety, Meaning Safety???
Think Safety - ACT Safely !
Mau lebih dalam tentang Why Safety, Meaning Safety???
Hubungi ACT Consulting :
081378444341
Our Client: PT.Chevron Pacific Indonesia, Pertamina, PT. Bukit Asam, PT. Timah, Indonesia Power, Petronas, Pertamina, JNE,PT.Pusri,Karangkraf, SAJ (syarikat Air Johor), Telkom Indonesia, Telkomsel, Bank Mandiri, Bank Indonesia, Semen padang,Summarecon,Jamsostekn Sucofindo,Askrindo,Adira Finence, Instansi Pemeintah, BUMN/BUMD and Manymore
Our Client: PT.Chevron Pacific Indonesia, Pertamina, PT. Bukit Asam, PT. Timah, Indonesia Power, Petronas, Pertamina, JNE,PT.Pusri,Karangkraf, SAJ (syarikat Air Johor), Telkom Indonesia, Telkomsel, Bank Mandiri, Bank Indonesia, Semen padang,Summarecon,Jamsostekn Sucofindo,Askrindo,Adira Finence, Instansi Pemeintah, BUMN/BUMD and Manymore
Tidak ada komentar:
Posting Komentar